Maulid nabi
adalah suatu kegiatan perayaan kelahiran nabi Muhammad SAW. Yang lahir pada
tanggal 12 Robiul Awal tahun Gajah bertepatan 20 April 571 M. Awal pelaksanaan
mailud nabi menurut Imam al-Hafizh as-Sakhawi al-Syafi’i dalam fatwanya
berkata: “Perayaan maulid tidak dinukil dari seorangpun dari salaf shalih di
tiga zaman yang utama. Akan
tetapi hal itu terjadi setelah itu.” (Mengutip dari Subulul Huda war-Rasyad (1/439), karya
al-Shalihi, cetakan Kementrian Waqaf Mesir.)
Maulid nabi
menurut sejarah dilaksanakan sesudah tahun 350 H sebelum Dinasti Fathimiyyah sebagaimana yang dikatakan oleh
Ustadz Hasan as-Sandubi. Mereka
merayakan Maulid Nabi di Mesir dengan pesta besar. Mereka membuat kue dalam
jumlah besar dan membagi-bagikannya, sebagaimana yang dikatakan oleh
al-Qalqasandi dalam kitabnya Shubhul A’sya.”
Lalu Syaikh Athiyah menjelaskan urutan sejarah maulid
sebagai berikut:
Pertama: Di Mesir. Orang-orang Fatimiyyah merayakan berbagai macam
maulid untuk ahlul bait. Yang pertama kali melakukan adalah al-Muiz lidinillah
(341-365H) pada tahun 362 H. Kemudian maulid-maulid yang lain pada tahun 488 H
karena khalifah al-Musta’li billah mengangkat al-Afdhal Syahinsyah ibn Amirul
Juyusy Badr al-Jamali sebagai menteri. Ia adalah orang kuat yang tidak menentang ahlus sunnah,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir dalam kitabnya al-Kamil: 5/302. Hal ini
berlangsung hingga kementrian diganti oleh al-Makmun al-Bathaihi, lalu ia
mengeluarkan instruksi untuk melepas shadaqat (zakat) pada tanggal 13 Rabiul
Awal 517 H, dan pembagiannya dilaksanakan oleh Sanaul Malik. (Mei 1997, Fatawa
al-Azhar: 8/255)
Sejarahwan sunni Syaikh al-Maqrizi
al-Syafi’i (854 H) dalam kitab al-Khuthath (1/490 dan sesudahnya) berkata: "Menyebut hari-hari di mana para
khalifah Fathimiyyah menjadikannya sebagai hari raya dan musim perayaan, pesta
besar bagi rakyat dan banyak kenikmatan di dalamnya untuk mereka."
Sementara dalam kitab Itti’azhul
Khunafa' (2/48) al-Maqrizi berkata: (pada tahun 394 H) "Pada bulan Rabiul Awal
manusia dipaksa untuk menyalakan kendil-kendil (lampu) di malam hari di
rumah-rumah, jalan-jalan dan gang-gang di Mesir." Di tempat lain (3/99) ia
berkata: (pada tahun 517 H). "Dan berlakulah aturan untuk merayakan Maulid Nabi yang
mulia pada bulan Rabiul Awal seperti biasa." Untuk keterangan lebih lanjut
mengenai apa yang terjadi saat perayaan Maulid Nabi dan besarnya walimah merujuk pada al-khuthath; 1/432-433;
Syubul A’sya, karya al-Qalqasandi: 3/498-499).
Kedua: Di Mesir. Ketika datang Dinasti Ayyubiyah (yang dimulai pada
saat Shalahuddin al-Ayyubi menggulingkan khalifah Fathimiyyah terakhir
al-Adhidh Lidinillah pada tahun 567 H/ 1171 M ) maka dibatalkanlah semua
pengaruh kaum Fatimiyyin di seluruh wilayah negara Ayyubiyah, kecuali Raja
Muzhaffar yang menikahi saudari Shalahuddin al-Ayyubi ini. Perayaan maulid ini
kembali dihidupkan di Mesir pada masa Mamalik, pada tahun 922 H oleh khalifah
Qanshuh al-Ghauri. Kemudian, tahun berikutnya 923 H ketika Orang-Orang Turki
Usmani memasuki Mesir maka mereka meniadakan maulid ini. Namun setelah itu
muncul kembali. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Iyas.
Ketiga: Irak. Kemudian di awal abad ke-7 H perayaan maulid menjadi
acara resmi di kota Arbil, melalui sultan Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn
Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin. Dia seorang Sunni (bukan Syi’ah seperti bani
Ubaid Fatimiyyin). Dia membuat kubah-kubah di awal bulan Shafar, dan
menghiasinya dengan seindah mungkin. Di hari itu, dimeriahkan dengan nyanyian,
musik dan hiburan qarquz, Gubernur menjadikannya sebagai hari libur
nasional, agar mereka bisa menonton berbagai hiburan ini. Kubah-kubah kayu
berdiri kokoh dari pintu benteng sampai pintu al-Khanqah. Setiap hari setelah
shalat ashar Muzhaffaruddin turun mengunjungi setiap kubah, mendengarkan irama
musik dan melihat segala yang ada di sana. Ia membuat perayaan maulid pada satu
tahun pada bulan ke delapan, dan pada tahun yang lain pada bulan ke 12. Dua
hari sebelum maulid ia mengeluarkan onta, sapi dan kambing. Hewan ternak itu
diarak dengan jidor menuju lapangan untuk disembelih sebagai hidangan bagi masyarakat.
Sementara menurut Abu Syamah dalam
kitab al-Ba’its ala Inkaril Bida’ wal-Hawadits mengatakan: Orang yang pertama
melakukan hal tersebut di Mosul (Mushil) adalah syaikh Umar ibn Muhammad
al-Mulla salah seorang shalih yang terkenal, maka penguasa Arbil meniru beliau.
Para sejarawan termasuk Ibnu Katsir dalam Tarikhnya menyebutkan bahwa perayaan
maulid yang diadakan oleh Raja Muzhaffar ini dihadiri oleh kaum shufi, melalui
acara sama’ (pembacaan qashidah dan nyanyian-nyanyian keagamaan kaum shufi) dari
waktu zhuhur hingga fajar, dia sendiri ikut turun menari/ bergoyang (semacam
joget-ala shufi). Dihidangkan 5000 kambing guling, 10 ribu ayam dan 100.000
zubdiyyah (semacam keju), dan 30.000 piring kue. Biaya yang dikeluarkan untuk
acara ini –tiap tahunnya- sebesar 300.000 Dinar. Syaikh Umar ibn Muhammad
al-Mulla yang menjadi panutan sultan Muzhaffar adalah seorang shufi yang setiap
tahun mengadakan perayaan maulid dengan mengundang umara, wuzara (para mentri)
dan ulama (shufi). Ibnul Hajj Abu Abdillah al-Abdari berkata, "Sesungguhnya
perayaan ini tersebar di Mesir pada masanya..." (Al-Madkhal: 2/11-12) Pada abad ke
7 kitab-kitab maulid banyak ditulis, seperti kisah ibn Dahiyyah yang meninggal
di Mesir w. 633 H, Muhyiddin Ibnul Arabi yang wafat di Damaskus tahun 638 H,
ibnu Thugharbek yang wafat di Mesir tahun 670 H, dan Ahmad al-’Azli bersama
putranya Muhammad yang wafat tahun 677 H.
Kemudian Syaikh Muhammad al-Fadhil
ibn Asyur berkata, "Maka datanglah abad ke 9, sementara manusia berselisih
antara yang membolehkan dan melarang". Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (773-852),
as-Suyuti (849-911) dan Ibnu Hajar al-Haitami (909-974) menganggap baik, dengan
pengingkaran mereka terhadap bid’ah-bid’ah yang menempel pada acara maulid.
Mereka menyandarkan pendapat mereka pada firman Allah yang artinya:
“Dan ingatkanlah mereka
kepada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim: 5)
Imam Nasai, dan Abdullah ibn Ahmad
dalam Zawaid al-Musnad, serta al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ubay ibn
Ka’b, dari Nabi saw, beliau menafsiri hari-hari Allah dengan nikmat-nikmat Allah
dan karunia-Nya.” (Ruhul Ma’ani, karya al-Alusi) Sedangkan kelahiran Nabi SAW
adalah nikmat Allah yang besar.
Meskipun maulid nabi tidak seramai dan semeriah maulid nabi yang diselenggarakan oleh Raja Muzhaffar. Namun masih ada kelompok masyarakat dan pemuda yang
berbondong-bondong mengadakan dzikir, tahlil dan sholawatan untuk merayakan
maulid nabi Muhammad SAW. dan tidak sedikit masyarakat membuat tumpeng dengan
isi berbagai macam jenis makanan dan lauk yang bertujuan untuk disumbangkan dan
diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
Suatu hal yang
sangat baik dan sangat manusiawi. disaat masih banyak masyarakat yang
kekurangan gizi dan ketidakmampuan ekonomi untuk membeli makanan dan lauk pauk,
harga gas dan barang-barang yang terus melejit naik, ada sebagian
kelompok masyarakat bersatu, bergotong-royong dan dengan suka-rela bershodaqoh
dan memasakkannya untuk diberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Semoga
amal shodaqoh mereka diterima Allah SWT. Amin!.
2.Athiyah
Shaqr, Fatawa al-Azhar (Maktabah Syaamilah 2)
3.Jalaluddin
as-Suyuthi, Husnul Maqshad fi Amalil Maulid, dalam kitab al-Hawi
lilfatwa, Darul Fikr,1414,1/221-231.
7.http://www.nahimunkar.com/sejarah-maulid-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-3/