Sebagai manusia kewajiban kita adalah mentaati perintah Allah SWT, Rasulullah dan Ulil Amri. Dalam tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Ulil Amri diartikan, Ketua RT/RW, Lurah/Kepala Desa, Camat, Walikota/Bupati, Gubernur hingga Presiden. Dalam dunia usaha Ulil Amri adalah Direktur Utama, Direktur, Manajer, dan lain sebagainya. Sementara dalam dunia pendidikan Ulil Amri diartikan Kepala Sekolah/Kepala
Madrasah, Kepala Dinas atau Kasi/Kabid yang membidangi pendidikan.
Kewajiban untuk taat kepada Allah, Rasul-Nya, dan Ulil Amri ini dijelaskan dalam Q.S. Annisa 59 :
yang artinya : Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada "Ulil Amri" (orang-orang berkuasa) dikalangan kamu.
Ayat tersebut menyatakan secara tegas bahwa rakyat (bawahan) diharuskan untuk taat kepada Ulil Amri (pemimpin/atasannya) suka atau tidak suka. Secara manajerial apabila bawahan mentaati atasan dengan tulus dan ihlas, tanpa keterpaksaan. Maka, sudah barang tentu usaha atau program yang dijalankan akan berjalan sukses, target dapat tercapai dengan mudah, dan senantiasa aman, tentram, dan damai.
Namun, sebaliknya apabila bawahan selalu bertolak-belakang, sungkan menjalankan tugas yang diberikan atasannya dengan alasan karena perbedaan prinsip dalam mengambil keputusan atau karena tidak suka secara pribadi. Maka yang ada adalah kehancuran sistem. Akibatnya, kerja atasan dan bawahan tidak akan maksimal. Atasan akan terus menjatuhkan bawahan, begitupun dengan bawahan yang akan terus mencoba menjatuhkan atasan.
Secara naluri kebangsaan dan demi membantu terselenggaranya hukum yang berkeadilan di negara Indonesia. Atau karena untuk menegakkan syiar agama. Meskipun dari bagian terkecil dari elemen bangsa, ada kewajiban bawahan untuk menolak perintah atasan apabila perintah atasan dapat melanggar hukum (negara/agama). Bawahan wajib menolak melakukan manipulasi laporan keuangan yang berakibat terjadinya tindak korupsi, bawahan-pun wajib menolak diperintahkan pindah tugas apabila jabatan yang akan ditinggalkan atau yang akan ditempati dapat berakibat korupsi dan nepotisme, bawahan juga wajib menolak apabila diperintahkan bekerjasama dengan pihak-pihak tertentu yang dapat berakibat terjadinya kolusi. Atau secara hukum agama bawahan wajib menolak melakukan hal-hal yang di larang agama misalnya mabuk-mabukan, melakukan perbuatan zina, perjudian, atau perbuatan lainnya yang dapat menimbulkan efek negatif.
Dalam kitab Tarbiyatuh Al-Adab As-Syariyyah dijelaskan sebagai berikut;
Hak setiap muslim adalah mendengar dan taat (pada Ulil Amri) baik suka atau benci. Selagi tidak memerintahkan berbuat maksiat. Apabila (Ulil Amri) memerintahkan untuk berbuat maksiat, maka hendaklah tidak didengar dan tidak mematuhi perintahnya.
Menyangkut hubungan politik rakyat Indonesia dengan pemimpinnya. Baik pemimpin negara, daerah, instansi atau lainnya. Tidaklah pantas kita terus menghujat dan membuka aib-aibnya. Biarkan mereka memimpin dengan gaya kepemimpinan yang dimilikinya. Bila itu salah ada hak untuk mengingatkan dan menunjukkan jalan yang tepat, Namun, bila tetap dalam pendiriannya berdoalah semoga diberikan petunjuk.
Kewajiban kita adalah patuh dan mendengarkan segala keputusan/perintahnya. Kecuali bila pemimpin kita memerintahkan berbuat "maksiat". Maka, jangan pernah mematuhi perintahnya.