Sudah bukan menjadi rahasia di Indonesia, Pada umumnya masyarakat Indonesia mengenal hukum di Indonesia adalah hukum yang yang dapat ditawar sebelum keputusan atau setelah keputusan itu inkrah.
Dalam hal mengubah keputusan hukum di Indonesia, pada umumnya terdakwa dapat lolos dari jeratan hukum atau dari hukuman yang berat melalui bantuan kuasa hukumnya.
Kuasa hukum yang bersangkutan bernegosiasi dengan pihak-pihak berwenang, misalnya; oknum polisi, oknum jaksa, oknum hakim, atau oknum sipir penjara dengan berbagai cara.
Atau disebabkan dorongan kekuatan politik suatu negara yang mendorong untuk dapat memperingan hukuman terdakwa, misalnya pada kasus Schapelle Leigh Corby yang disinyalir mendapatkan remisi karena dorongan dari Australia.
Indonesia yang masih menganut hukum ajaran Belanda ini, masih menggunakan hukum tebusan atau denda. Dengan demikian asal mampu membayar denda yang ditetapkan hakim. Maka, terdakwa dapat menghirup udara bebas.
Hukum di Indonesia sendiri masih tidak memenuhi unsur keadilan seadil-adilnya menurut pandangan korban/keluarga korban atau bahkan oleh terdakwa sendiri. Misalnya pada kasus pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga pejabat atau keluarga kaya. Hukuman yang mestinya dijalankan dalam hotel prodeo dapat berkurang sesuai negosiasi yang tercapai. Sementara dalam pandangan terdakwa, hukum di Indonesia yang dinilai tidak memenuhi keadilan adalah masih berpihaknya hukum pada uang yang dijanjikan. Misalnya pada terdakwa kasus pencurian. Pada kasus pencurian binatang ternak atau kendaraan bermotor terdakwanya dihukum dengan sangat berat. Namun, pada kasus korupsi yang statusnya sama (pencuri) hukumannya ringan atau bebas.
Hal ini berbeda terbalik dengan hukum yang diterapkan di Arab Saudi. Seorang pangeran Saudi yang membunuh sesama warga Saudi ternyata bisa dijatuhi hukuman mati seperti hukum yang biasa diterapkan pada umumnya, surat kabar Arab News memberitakan sebagai kejadian
langka yang menimpa anggota keluarga kerajaan yang berkuasa di tanah yang subur minyak ini.
Media bahasa Inggris ini memang
tidak menyebutkan detil identitas pangeran yang melakukan pembunuhan atau korbannya, tapi menurut seorang
anggota senior keluarga dan pemerintah, Putra Mahkota Salman, telah “memberikan jalan bagi kemungkinan eksekusi seorang pangeran dihukum
karena membunuh warga Saudi” .
Dalam sebuah pesan Pangeran Salman kepada Menteri Dalam Negeri Pangeran Mohammed bin Nayef, Beliau (Pangeran Salman) berkata: "Syariah (Hukum Islam) harus diterapkan untuk semua
tanpa terkecuali".
Ditambahkan dalam pesannya Pangeran Salman berkata : "Tidak ada perbedaan
antara besar dan kecil, kaya dan miskin … Tak seorang pun diperbolehkan
untuk mengganggu keputusan pengadilan itu. Ini adalah tradisi negara ini
. Kami berkomitmen untuk mengikuti (hukum) Syariah".
Pernyataan pesan Putra Mahkota Salman ini berkaitan dengan pernyataan dari ayah korban yang menyatakan bahwa tidak siap untuk
mengampuni pembunuh dan dia tidak senang dengan jumlah yang ditawarkan
sebagai "uang darah". Awalnya keluarga korban pembunuhan didorong
oleh otoritas untuk menerima uang darah, bukannya bersikeras untuk melaksanakan eksekusi.
Sebelumnya pernah pula terjadi kasus yang
paling menonjol adalah Faisal bin Musaid Al Saud, yang membunuh
pamannya, Raja Faisal, pada tahun 1975.