Musim politik lima tahunan mulai
ramai di berbagai daerah, bendera-bendera partai dikibarkan di tiang-tiang
bambu bahkan di atas pohon sekali-pun, foto calon legislatif bertebaran di
tiang-tiang listrik, di tembok-tembok rumah, bahkan di jembatan-jembatan.
Dengan sikap dan gaya bermacam-macam, kata-kata diungkapkan sebagai bentuk
janji calon legislatif bila nanti terpilih. Itulah salah satu bentuk demokrasi
di Indonesia.
Meskipun dalam Democracy Index yang dikeluarkan Economist
Intelligence Unit tahun
2011. Indonesia hanya masuk kategori demokrasi tidak penuh. Namun, dari sisi lingkungan
politik dan sosial dalam negeri. Indonesia sudah menjadi negara yang
benar-benar demokrasi. Hal ini terwujud dari kebebasan setiap individu untuk diperbolehkan
ikut serta dalam pesta demokrasi di negara Indonesia. Kebebasan yang tidak
membatasi apapun pekerjaannya, agamanya, siapapun orangnya atau jenisnya. Semua
diperbolehkan ikut meramaikan panggung politik Indonesia.
Hanya saja yang perlu menjadi
sorotan utama dalam demokrasi di Indonesia adalah mengenai biaya. Biaya dalam
perpolitikan di Indonesia memang sangat mahal. Untuk bisa ikut serta dalam
pesta demokrasi di Indonesia untuk seseorang yang tidak memiliki partai
biasanya biaya dikenakan untuk pencalonan antara 750 ribu hingga puluhan juta
rupiah. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor yang mempengaruhi mahalnya
biaya demokrasi Indonesia. Disamping permainan politikus partai agar supaya
partai-partainya saja yang boleh menyertakan calon legislatif, hal lain yang
teramat penting adalah kurangnya pendidikan politik rakyat Indonesia.
Apabila pendidikan politik rakyat
Indonesia tinggi. Maka, sudah barang tentu biaya demokrasi Indonesia tidak
semahal seperti saat ini. Sebagai contoh, seorang calon legislatif apabila
ingin mendapatkan suara di Dapilnya. Maka, harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Seumpama seorang calon legislatif harus mendapatkan suara 3000. Maka, biaya minimal
yang harus dikeluarkan oleh seorang calon legislatif sebesar 30juta rupiah. Dengan perhitungan perorang pemilih dibayar
10ribu rupiah dikalikan 3000 orang. Hal ini kembali disebabkan karena
pendidikan politik rakyat Indonesia yang selalu mengedepankan rupiah
dibandingkan kualitas calon legislatif tersebut.
Berbeda apabila, pendidikan
politik rakyat Indonesia tinggi. Maka, biaya-biaya yang besar tadi akan dapat ditekan
seminimal mungkin, dan kalaupun memang harus mengeluarkan biaya tidak akan
sebesar seperti saat ini, dan biaya-biaya tersebut pastinya digunakan untuk
hal-hal yang bermutu.
Hal yang membuat lebih miris, dan
menambah mahal biaya politik adalah keberadaan tim sukses. Dapat kita lihat
dimanapun keberadaannya, dimana ada calon legislatif. Maka, disitu pasti ada
tim sukses.
Memang tidak disalahkan apabila
seorang anggota legislatif memiki tim sukses. Dan mungkin, tanpa tim sukses
seorang calon anggota legislatif akan teramat susah untuk mengenalkan dirinya
kepada rakyatnya. Namun, tim sukses saat ini bukan lagi menjadi kelompok orang
yang akan mensukseskan calonnya agar duduk di legislatif dan dapat mewakili
suara rakyatnya. Akan tetapi, tim sukses yang ada saat ini berwujud seperti
bodyguard yang menjaga calonnya 24 jam, siang dan malam selalu mendampingi sang
calon, kemana-pun sang calon pergi selalu mengikuti dan tidak sedikit tim
sukses membuat yel-yel khusus seperti Cheerleader memberikan dukungan kepada orang
yang didukungnya agar semangat.
Timbul juga hal baru yang membuat
sang calon legislatif merogoh kantongnya dalam-dalam, tim sukses atau apapun
namanya seperti memanfaatkan kondisi
yang ada. Maka, tidak heran ada tim sukses atau orang-orang tersebut. makan,
minum, dan merokok meminta dari sang calon. Bahkan lebih konyolnya lagi urusan
keluarga dibawa-bawa kepada sang calon.
Bila begini jadinya seorang calon
legislatif sebelum duduk menjadi anggota legislatif sudah mengeluarkan dana
yang sangat besar. Bagaimana jadinya kerja mereka setelah duduk menjadi anggota
legislatif. Tentu hal utama yang dilakukan oleh mereka sang anggota dewan
adalah mengembalikan dana yang pernah mereka keluarkan, ditambah bonus. Maka,
setelah itu adalah mencari keuntungan sebanyak-banyaknya karena masa mereka
duduk menjadi seorang anggota dewan hanya lima tahun, setelah itu belum tentu
terpilih kembali. Urusan rakyat dan kepentingan rakyat akan dibelakangkan,
karena urusan rakyat telah dibayar dengan rupiah sebelum dirinya menjadi
anggota legislatif.
Maka tidak aneh setelah KPK dan
kejaksaan memaksimalkan kerjanya, tidak sedikit anggota dewan terhormat
ditangkap dan disidangkan karena kasus korupsi, Misalnya, M. Nazarudin, Angelina
Sondakh, Wisnu Wardhana, Riza Kurniawan, Taufan Andoso Yakin, dan lainnya.
Mereka ditangkap karena mereka korupsi, dan semua itu mereka lakukan karena
mereka harus mengembalikan dana yang pernah mereka keluarkan untuk menjadi
anggota dewan.
Seandainya pendidikan politik
benar-benar diajarkan kepada rakyat Indonesia dan rakyat mampu memahami kondisi
dan perilaku politik yang benar. Maka, seorang calon legislatif tidak harus menghambur-hambur
dana agar terpilih di Dapilnya, dan mereka tidak harus membuat tim sukses
dadakan yang bekerja 24 jam, yang akhirnya sang calon harus menanggung makan,
minum, dan rokok mereka. Dan sang calon legislatif pun tidak perlu mencetak
stiker, skotlite, famlet, brosur, bendera atau kaos pose sang calon legislatif
agar mereka di kenal rakyatnya.
Akan tetapi, yang harus dilakukan oleh calon legislatif jauh sebelum pencalonannya. Secara pribadi mengenalkan diri kepada rakyat dengan selalu ikut serta dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Misalnya, gotong royong, karang taruna, kegiatan kepemudaan, remaja masjid, pendidikan, dan hal lain yang mampu mencerminkan diri sebagai sosok pribadi yang ramah, ringan tangan, dan bermasyarakat. Dengan demikian, calon legislatif akan dapat menghemat biaya yang harus dikeluarkan untuk memperkenalkan dirinya, dan rakyat-pun mendapatkan calon legislatif yang benar-benar dapat mewakili dirinya. Bukan mendapatkan calon legislatif yang tidur atau kabur waktu sidang soal rakyat.
Akan tetapi, yang harus dilakukan oleh calon legislatif jauh sebelum pencalonannya. Secara pribadi mengenalkan diri kepada rakyat dengan selalu ikut serta dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Misalnya, gotong royong, karang taruna, kegiatan kepemudaan, remaja masjid, pendidikan, dan hal lain yang mampu mencerminkan diri sebagai sosok pribadi yang ramah, ringan tangan, dan bermasyarakat. Dengan demikian, calon legislatif akan dapat menghemat biaya yang harus dikeluarkan untuk memperkenalkan dirinya, dan rakyat-pun mendapatkan calon legislatif yang benar-benar dapat mewakili dirinya. Bukan mendapatkan calon legislatif yang tidur atau kabur waktu sidang soal rakyat.